Jakarta –
Bukti resistensi antimikroba juga terjadi di Indonesia. Penggunaan antibiotik yang sembarangan menyebabkan berkembangnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik, sehingga pengobatan menjadi tidak efektif. Hal ini tentu akan mempengaruhi banyak pelayanan atau perawatan pasien.
Menurut dr Azhar Jaya, S.M.M.A.A., direktur jenderal pelayanan kesehatan Kementerian Kesehatan RI, kasus resistensi antibiotik selama ini terjadi pada dua jenis bakteri, Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae. . Kedua bakteri ini dapat mengancam jiwa dan menyerang seluruh sistem tubuh manusia.
Data AMR di Indonesia diperoleh dari laporan Dirjen Pelayanan Kesehatan dari beberapa rumah sakit sentinel terpilih, dan hasil pengukuran extended-spectrum beta-lactamase (ESBL) di 20 rumah sakit sentinel site pada tahun 2022 sebesar 68 persen, ujarnya. . Azhar di Jakarta, dalam keterangan tertulis, Selasa (17/9/2024).
Kemudian pada tahun 2023, di 24 RS sentinel site, ESBL akan mencapai 70,73 persen dari target 52 persen pada tahun 2024. Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan resistensi antibiotik pada bakteri Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae.
Pemerintah berencana melakukan pengukuran ESBL di 56 rumah sakit di Indonesia, baik negeri maupun swasta, pada akhir tahun 2024 untuk mendapatkan gambaran lengkap mengenai resistensi antimikroba.
Seberapa seriuskah akibatnya?
Pasien dengan resistensi antimikroba memerlukan pengobatan tambahan. Hal ini karena bakteri telah mengembangkan resistensi terhadap antibiotik yang sebelumnya merupakan pengobatan standar.
“Mengobati pasien dengan infeksi AMR sulit dilakukan karena berbagai alasan. Yang pertama adalah terbatasnya pilihan obat. Obat yang efektif untuk pasien AMR mungkin tidak tersedia atau mahal, dan patogennya mungkin resisten terhadap antibiotik yang ada,” jelas Azhar.
Kedua, lambatnya penyidikan, lanjutnya.
Azhar menjelaskan perlunya uji kultur dan uji sensitivitas pada pasien yang mengalami resistensi bakteri. Hal ini jelas memperpanjang waktu perawatan pasien, karena menunggu hasil pengobatan yang tepat.
Kondisi resistensi antimikroba mengharuskan pasien menggunakan antibiotik dengan efek samping dan toksisitas yang serius. Belum lagi, pesatnya penyebaran mikroorganisme resisten di lingkungan rumah sakit.
Karena pengobatan AMR membutuhkan waktu yang lama (length of stay/Los), pengobatan AMR menjadi lebih mahal, menurunkan produktivitas pasien dan keluarga penunggunya, serta membebani pasien dan asuransi kesehatan,” lanjut Azhar. .
(Naf/Suk)