Sore itu sekitar pukul 17.00-an. Saya berjalan kaki menelusuri Jalan Radio Dalam di sapta Kebayoran Baru, Jakarta. Saya ingin ke layanan fotocopy Snappy yang berlokasi di dekat perempatan jalan itu. Sambil berjalan santai, saya menengok kanan-kiri menikmati pemandangan di sekitar jalan beserta formasi toko, butik, serta restoran baru yang menarik. Saya bahagia beserta suasana sore itu, karena udaranya sejuk serta relatif berangin, sesudah siang hari panas terik.
Saat saya akan melangkahkan kaki menuju arah toko Snappy, mendadak terdengar bunyi menggelegar yang sangat mengagetkan. Sekelebat saya melihat, serta bahkan hampir menabrak sebuah bulatan bola api yang kurang lebih dua kali berukuran bola voli besarnya. Jantung saya serasa berhenti berdetak, entah berapa lama. Saya terpana, mungkin ternganga, serta seluruh tubuh saya menggeletar. Yang terperinci langkah saya terhenti beserta satu kaki terangkat di udara akan tetapi tidak berkecimpung.
Saya belum menyadari apa yang terjadi, hingga akhirnya saya menoleh ke sisi sebelah kiri saya, yaitu jalan raya beserta barisan tunggangan yang seluruh berhenti. Saya melihat paras-paras takjub pengendara mobil yang tampak menurut kaca mobil mereka, pula aktualisasi diri aneh para pengendara sepeda motor yang melewati jalan itu, seluruh mengarahkan perhatiannya ke arah saya. Saya masih resah. Saya merasa relatif malu, karena seluruh memandang ke arah saya berdiri.
Rupanya mereka bukan saja memerhatikan posisi saya berdiri, akan tetapi lebih tepatnya mereka mengamati kejadian yang tidak pernah saya bayangkan serta alami sebelumnya. Sekitar dua depa di depan saya, menjulang homogen pohon trembesi yang rimbun. Saya baru menyadari bahwa bola api yang akan menghantam saya tadi melewati ruang di antara saya serta pohon itu. Oh ya, waktu itu saya baru sanggup mengamati beserta lebih terperinci bahwa di jalan raya di sisi kiri saya itu, banyak suara gaduh karena alarm mobil yang berdengung ramai. Tempat itu mendadak gelap pekat, karena penerangan listrik di toko-toko serta warung-warung kecil di pinggir jalan itu pula sontak padam.
Suasana berubah drastis. Dari yang semula ramail lancar kemudian lintasnya, terang benderang tokonya, menjadi sedikit mencekam. Tidak berselang lama, kemudian lintas mulai berkecimpung kembali akan tetapi diiringi beserta rintik gerimis yang menetes satu-satu. Saya segera menepi ke arah toko di sebelah kanan saya. Ada beberapa pelayan toko yang menonton kejadian tadi. Mereka berhenti bekerja serta spesifik memperbincangkan kejadian petir yang mengerikan itu.
mBak, tidak apa-apa kan? Hati-hati, mBak kalau jalan di daerah sini. Lagi banyak hujan petir, tapi seumur-umur saya baru melihat yang sedahsyat ini, seseorang pria menyapa saya yang masih pucat serta merasa lemas.
Tadi bener ya, Mas, muncul petir? tanyaku ke si bapak yang masih memandangiku beserta paras heran.
Lho, tadi kan kilatnya persis mendekati pohon itu?! Saya lihat mBak pula menuju ke arah pohon itu, saya hingga bengong! Minum dulu, mBak? Saya ditawari minum.
Orang-orang di situ tersenyum, mendukung wangsit si bapak. Ada yang mengangsurkan bangku buat saya duduk di dalam toko itu.
Terima kasih, seluruh. Saya harus cepat pergi. Saya ingin cari bajay saja, boleh minta tolong Mas? pintaku.
Bajay cepat datang, karena di situ memang daerah kekuasaan bajay. Begitu duduk di dalam bajay, kami melewati jalan-jalan kecil, termasuk sebuah lapangan kosong yang luas. Saya berdoa dalam hati buat mengucap syukur kepada Tuhan dikarenakan telah dihindarkan menurut musibah.
Saya berpikir, Sepuluh menit yang kemudian saya keluar menurut rumah baik-baik saja, serta beserta kejadian petir tadi, sanggup-sanggup detik ini pula saya telah tamat menjadi rakyat di mayapada yang fana ini. Batas antara hayati serta meninggal bagi insan sungguh setipis rambut dibelah tujuh.
Sementara itu raungan mesin bajay menambah ingar-bingar petang yang masih mencekam beserta gemuruh petir yang terus menggeledek. Saya duduk menciut, bersedekap serta menutupi badan beserta tas lebar. Masih merenungi nasib saya yang mujur, di tengah bunyi geledek yang membuat saya gemetaran, mendadak saya jangan lupa wacana telepon genggam (HP) yang tadi saya simpan di kantung baju sebelah kanan. Refleks saya mengeluarkan HP itu. Otak saya baru nyambung, mungkin HP di kantung baju ini yang membuat petir mengejar saya. Dengan cepat saya mematikan HP, serta memasukkannya kedalam tas.
Hujan semakin deras, serta itu membuat supir bajay semakin meningkatkan kecepatan laju kendaraannya hingga di rumah. Bertudung tas, saya menghambur ke gerbang pagar depan rumah. Lega sekali cita rasanya.
Pengalaman tidak terlupakan itu telah sekitar lima tahun berselang. Sampai pada suatu hari, dua tahun yang kemudian, saudara termuda saya memberi keterangan bahwa sahabat saya SMA hari itu meninggal mayapada karena terkena sambaran petir waktu hujan-hujan mengendara beserta vespanya. Saya terhenyak kaget serta duka. Sahabat ini tidak semujur diri saya. Mungkin Tuhan memanggilnya beserta cara itu. Saya duka membayangkan anak-anak yang ditinggalkan almarhum.
Setahun ini, muncul saja gosip wacana korban tewas karena terkena petir. Ada yang sedang berteduh di bawah pohon, muncul yang justru akan berteduh menurut tengah sawah menuju pondok petani, muncul yang terluka lebih dahulu karena menelpon di jalanan waktu hujan, serta akhirnya jiwanya tidak tertolong pula. Saya teringat foto seekor harimau yang tewas beserta pose berdiri kaku serta lidah menjulur. Itu foto menurut sebuah gosip di Koran, wacana harimau di Taman Safari, Bogor yang hendak menyeberang jalan di sekitar semak-semak. Situasinya pula waktu hujan rintik-rintik.
Saat isu terkini hujan ini, khususnya di tempat tempat tinggal saya sekarang, hampir setiap hari hujan petir berbarengan beserta angin besar. Tahun kemudian, modem internet broadband di rumah meninggal serta rusak total pas muncul petir sangat besar. Untung saja laptop telah saya matikan sebelumnya. Berbarengan beserta itu banyak mobil tetangga yang alarm-nya bercuit-cuit, mungkin karena korsleting. Di ruang lain, saudara termuda saya hingga gemetaran karena mendadak HP yang dipakainya buat mengetik SMS bergetar hebat. Mungkin itu pula muncul hubungannya beserta peredaran listrik yang berasal menurut petir di luar, apalagi HP-nya memang sedang diisi baterainya (charging).
Belajar menurut pengalaman serta referensi sana-sini, saya ingin mengingatkan kita seluruh wacana beberapa hal yang perlu diperhatikan, demi keamanan dalam situasi serupa, diantaranya:
HP itu sanggup menjadi penghantar listrik. Teve, Radio serta alat-alat listrik lainnya pula. Maka hindari penggunaan indera-indera tadi waktu terjadi hujan petir. Cabut pula kabel alat-alat itu, atau matikan. Ini pula termasuk AC.
Jangan berdiri di dekat jendela kaca. Tutup gorden jendela buat lebih amannya. Petir serta angin yang sangat keras sanggup memecahkan jendela kaca.
Sikap kondusif di luar ruangan yang perlu kita lakukan artinya:
Carilah tempat berlindung yang kondusif, mirip beserta berteduh di bawah pohon-pohon yang tidak menjulang tinggi. Pohon tinggi paling rentan terkena sasaran petir. Sebaliknya, kalau posisi kita paling tinggi karena berada di dataran kosong, mungkin bertiarap akan lebih kondusif.
Jika Anda sedang berenang atau melakukan aktivitas di laut, segeralah keluar menurut air buat mencari tempat berlindung yang kondusif di darat.
Pergilah ke tempat yang memiliki dataran cukup rendah, serta jauh menurut pepohonan, tiang, serta pula benda-benda berlogam. Pastikan Anda memilih tempat yang pula terhindar menurut banjir.
Jangan berbaring atau bermain hujan beserta kaki telanjang. Ini mengundang resiko terkena hantaman petir.
Bila kita menjumpai orang yang tersambar petir, segeralah berikan bantuan. Jangan khawatir kalau korban sambaran petir itu akan membuat kita tersengat peredaran listrik pula, karena korban tidak akan membawa muatan listrik ke dalam dirinya.
Semoga kita seluruh selalu waspada serta menerima perlindungan menurut Tuhan YME.
Salam Kompasiana.
@IndriaSalim
Tags
waspada